A. Persimpangan Jalan
Persimpangan jalan adalah simpul pada jaringan jalan dimana ruas jalan bertemu dan lintasan arus kendaraan berpotongan. Lalu lintas pada masing-masing kaki persimpangan menggunakan ruang jalan pada persimpangan secara bersama-sama dengan lalu lintas lainnya. Olehnya itu persimpangan merupakan faktor yang paling penting dalam menentukan kapasitas dan waktu perjalanan pada suatu jaringan jalan khususnya di daerah - daerah perkotaan.
Persimpangan merupakan tempat sumber konflik lalu lintas yang rawan terhadap kecelakaan karena terjadi konflik antara kendaraan dengan kendaraan lainnya ataupun antara kendaraan dengan pejalan kaki. Oleh karena itu merupakan aspek penting didalam pengendalian lalu lintas. Masalah utama yang saling kait mengkait pada persimpangan adalah :
a. Volume dan kapasitas, yang secara lansung mempengaruhi hambatan.
b. Desain geometrik dan kebebasan pandang
c. Kecelakaan dan keselamatan jalan, kecepatan, lampu jalan
d. Parkir, akses dan pembangunan umum
e. Pejalan kaki
f. Jarak antar simpang
Kinerja lalu lintas perkotaan dapat dinilai dengan menggunakan parameter lalu lintas berikut (Tamin, 2000)
a. Untuk ruas jalan dapat berupa NVK, Kecepatan dan kepadatan
b. Untuk persimpangan dapat berupa tundaan dan kapasitas sisa
c. Data kecelakaan lalu luntas dapat juga perlu dipertimbangkan
Tabel 1. Nilai NVK pada berbagai kondisi
NVK Keterangan
<0.8>1,0 Kondisi kritis
Sumber : Tamin (2000)
Menurut Jinca (2001) Pemecahan persoalan lalu lintas yang bersumber dari ketidak seimbangan antara Kapasitas (C) dan Volume (V) dapat ditempuh antara lain dengan menambah Kapasitas (C) dan atau mengurangi volume (V).
B. Jenis-Jenis Jersimpangan
Secara garis besarnya persimpangan terbagi dalam 2 bagian :
1. Persimpangan sebidang.
2. Persimpangan tak sebidang
Persimpangan sebidang adalah persimpangan dimana berbagai jalan atau ujung jalan masuk persimpangan mengarahkan lalu lintas masuk kejalan yang dapat belawanan dengan lalu lintas lainnya.
Pada persimpangan sebidang menurut jenis fasilitas pengatur lalu lintasnya dipisahkan menjadi 2 (dua) bagian :
1. Simpang bersinyal (signalised intersection) adalah persimpangan jalan yang pergerakan atau arus lalu lintas dari setiap pendekatnya diatur oleh lampu sinyal untuk melewati persimpangan secara bergilir.
2. Simpang tak bersinyal (unsignalised intersection) adalah pertemuan jalan yang tidak menggunakan sinyal pada pengaturannya.
Gambar 1. Berbagai jenis persimpangan jalan sebidang
Sumber : Morlok, E. K. (1991)
Sedangkan persimpangan tak sebidang, sebaiknya yaitu memisah-misahkan lalu lintas pada jalur yang berbeda sedemikian rupa sehingga persimpangan jalur dari kendaraan-kendaraan hanya terjadi pada tempat dimana kendaraan-kendaraan memisah dari atau bergabung menjadi satu lajur gerak yang sama. (contoh jalan layang), karena kebutuhan untuk menyediakan gerakan membelok tanpa berpotongan, maka dibutuhkan tikungan yang besar dan sulit serta biayanya yang mahal. Pertemuan jalan tidak sebidang juga membutuhkan daerah yang luas serta penempatan dan tata letaknya sangat dipengaruhi oleh topografi. Adapun contoh simpang susun disajikan secara visual pada gambar berikut.
Gambar 2. Beberapa contoh simpang susun jalan bebas hambatan.
Sumber Morlok, E.K, (1991)
Pergerakan arus lalu lintas pada persimpangan juga membentuk suatu manuver yang menyebabkan sering terjadi konflik dan tabrakan kendaraan. Pada dasarnya manuver dari kendaraan dapat dibagi atas 4 jenis, yaitu :
Gambar 3. Jenis-jenis dasar pergerakan (lanjutan)
1. Berpencar (diverging)
2. Bergabung (merging)
3. Bersilangan (weaving)
4. Berpotongan (crossing)
Sumber : Direktorat Bina Sistem Lalu Lintas & Angkutan Kota, (1999; hal.31)
C. Karakteristik Lalu Lintas
1. Arus lalu lintas jalan
Menurut Direktorat Jenderal Bina marga(1997), arus lalu lintas adalah jumlah kendaraan bermotor yang melalui titik tertentu persatuan waktu, dinyatakan dalam kendaraan perjam atau smp/jam. Arus lalu lintas perkotaan terbagi menjadi empat (4) jenis yaitu :
a. Kendaraan ringan / Light vihicle (LV)
Meliputi kendaraan bermotor 2 as beroda empat dengan jarak as 2,0–3,0 m (termasuk mobil penumpang, mikrobis, pick-up, truk kecil, sesuai sistem klasaifikasi Bina Marga)
b. Kendaraan berat/ Heave Vehicle (HV)
Meliputi kendaraan motor dengan jarak as lebih dari 3,5 m biasanya beroda lebih dari empat (termasuk bis, truk dua as, truk tiga as, dan truk kombinasi).
c. Sepeda Motor/ Motor cycle (MC)
Meliputi kendaraan bermotor roda 2 atau tiga (termasuk sepeda motor dan kendaraan roda tiga sesuai sistem klasifikasi Bina Marga)
d. Kendaraan Tidak Bermotor / Un Motorized (UM)
Meliputi kendaraan beroda yang menggunakan tenaga manusia, hewan, dan lain-lain (termasuk becak,sepeda,kereta kuda,kereta dorong dan lain-lain sesuai sistem klasifikasi Bina Marga).
2. Volume Lalu lintas
Volume lalu lintas menunjukkan jumlah kendaraan yang melintasi suatu titik pengamatan dalam satu satuan waktu. Volume lalu lintas dapat dihitung dengan menggunakan rumus (Morlok, E.K. 1991) berikut :
(1)
Dimana : q = volume lalu lintas yang melalui suatu titik
n = jumlah kendaraan yang melalui titik itu dalam interval waktu pengamatan
t = interval waktu pengamatan
3. Kecepatan
Kecepatan merupakan besaran yang menunjukkan jarak yang ditempuh kendaraan dibagi waktu tempuh. Kecepatan dapat diukur sebagai kecepatan titik, kecepatan perjalanan, kecepatan ruang dan kecepatan gerak. Kelambatan merupakan waktu yang hilang pada saat kendaran berhenti, atau tidak dapat berjalan sesuai dengan kecepatan yang diinginkan karena adanya sistem pengendali atau kemacetan lalu-lintas. Adapun rumus untuk menghitung kecepatan (Morlok, E.K. 1991) :
(2)
Dimana : V = kecepatan (km/jam, m/det)
d = jarak tempuh (km, m)
t = waktu tempuh (jam, detik)
4. Kepadatan
Kepadatan adalah jumlah rata-rata kendaraan persatuan panjang jalur gerak dalam waktu tertentu, dan dapat dihitung dengan rumus (Morlok, E. K. 1991) berikut :
(3)
Dimana : K = kepadatan (kend/km)
n = jumlah kendaraan di jalan
L = panjang jalan (km)
5. Kapasitas
Kapasitas jalan adalah jumlah kendaraan maksimum yang dapat melewati suatu jalan pada jalur jalan selama 1 jam dengan kondisi serta arus lalu lintas tertentu. Penghitungan kapasitas suatu ruas jalan perkotaan (MKJI 1997) sebagai berikut :
C = Co x FCw x FCsp x FCsf x FCcs (4)
dimana :
C = kapasitas ruas jalan (smp/jam)
Co = kapasitas dasar (smp/jam)
FCw = faktor penyesuaian lebar jalur lalu lintas
FCsp = faktor penyesuaian pemisahan arah
FCsf = faktor penyesuaian hambatan samping
FCcs = faktor penyesuaian ukuran kota
Penentu kapasitas dasar (Co) jalan ditentukan berdasarkan tipe jalan dan jumlah jalur, terbagi atau tidak terbagi, seperti dalam tabel 4.
Tabel 2. Kapasitas (Co)
No Tipe Jalan Kapasitas Dasar
(smp/jam) Keterangan
1 Empat lajur terbagi 1650 Perlajur
2 Empat lajur tidak terbagi (4/2 UD) 1500 Perlajur
3 Dua lajur tidak terbagi (2/2 UD) 2900 Total untuk dua arah
(Sumber: ( MKJI 1997)
6. Derajat Kejenuhan
Derajat kejenuhan (DS) didefenisikan sebagai rasio arus lalu lintas terhadap kapasitas, yang digunakan sebagai faktor utama dalam penentuan tingkat kinerja simpang dan segmen jalan. Nilai DS menunjukkan apakah segmen jalan tersebut mempunyai masalah kapasitas atau tidak. Untuk menghitung derajat kejenuhan pada suatu ruas jalan perkotaan dengan rumus (MKJI 1997) sebagai berikut :
DS = Q/C (5)
dimana :
DS = Derajat kejenuhan
Q = Arus maksimum (smp/jam)
C = Kapasitas (smp/jam)
D. Hambatan Samping
Hambatan samping adalah dampak terhadap kinerja lalu lintas dari aktifitas samping segmen jalan. Banyaknya aktifitas samping jalan sering menimbulkan berbagai konflik yang sagat besar pengaruhnya terhadap kelancaran lalu lintas.
Adapun factor-faktor yang mempengaruhi nilai kelas hambatan samping dengan frekwesi bobot kejadian per jam per 200 meter dari segmen jalan yang diamati, pada kedua sisi jalan.(MKJI 1997) seperti tabel berikut : Tabel 3. Penentuan tipe fekwensi kejadian hambatan samping
Tipe kejadian hambatan samping Simbol Faktor bobot
Pejalan kaki PED 0,5
Kendaraan parkir PSV 1.0
Kendaraan masuk dan keluar sisi jalan EEV 0.7
Kendaraan lambat SMV 0.4
Sumber : (MKJI 1997)
Untuk mengetahiu nilai kelas hanmbatan samping, maka tingkat hambatan samping telah dikelompokkan dalam 5 kelas dari yang sangat rendah sampai tinggi dan sangat tinggi.
Tabel 4. Nilai kelas hambatan samping
Kelas Hambatan samping (SCF) Kode Jumlah kejadian per 200 m perjam Kondisi Daerah
Sangat rendah VL <100>900 Daerah komersial; aktifitas pasar di samping jalan
Sumber : (MKJI 1997)
Dalam menentukan nilai Kelas hambatan samping digunakan rumus (MKJI 1997) :
SCF = PED + PSV + EEV + SMV
Dimana :
SFC = Kelas Hambatan samping
PED = Frekwensi pejalan kaki
PSV = Frekwensi bobot kendaraan parkir
EEV = Frekwensi bobot kendaraan masuk/keluar sisi jalan.
SMV = Frekwensi bobot kendaraan lambat
1. Faktor Pejalan Kaki.
Aktifitas pejalan kaki merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi nilai kelas hambatan samping, terutama pada daerah-daerah yang merupakan kegiatan masyarakat seperti pusat-pusat perbelanjaan. Banyak jumlah pejalan kaki yang menyebrang atau berjalan pada samping jalan dapat menyebabkan laju kendaraan menjadi terganggu. Hal ini semakin diperburuk oleh kurangnya kesadaran pejalan kaki untuk menggunakan fasilitas-fasilitas jalan yang tersedia, seperti trotoar dan tempat-tempat penyeberangan.
2. Faktor kendaraan parkir dan berhenti
Kurangnya tersedianya lahan parkir yang memadai bagi kendaraan dapat menyebabkan kendaraan parkir dan berhenti pada samping jalan. Pada daerah-daerah yang mempunyai tingkat kepadatan lalu lintas yang cukup tinggi, kendaraan parkir dan berhenti pada samping jalan dapat memberikan pengaruh terhadap kelancaran arus lalu lintas.
Kendaraan parkir dan berheti pada samping jalan akan mempengaruhi kapasitas lebar jalan dimana kapasitas jalan akan semakin sempit karena pada samping jalan tersebut telah diisi oleh kendaraan parkir dan berhenti.
3. Faktor kendaraan masuk/keluar pada samping jalan
Banyaknya kendaraan masuk/keluar pada samping jalan sering menimbulkan berbagai konflik terhadap arus lalu lintas perkotaan. Pada daerah-daerah yang lalu lintasnya sangat padat disertai dengan aktifitas masyarakat yang cukup tinggi, kondisi ini sering menimbulkan masalah dalam kelancaran arus lalu lintas. Dimana arus lalu lintas yang melewati ruas jalan tersebut menjadi terganggu yang dapat mengakibatkan terjadinya kemacetan.
4. Faktor kendaraan lambat
Yang termasuk dalam kendaraan lambat adalah becak, gerobak dan sepeda. Laju kendaraan yang berjalan lambat pada suatu ruas jalan dapat menggaggu aktifitas-aktifitas kendaraan yang yang melewati suatu ruas jalan. Oleh karena itu kendaraan lambat merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi tinggi rendahnya nilai kelas hambatan samping.
E. Tingkat Pelayanan Jalan
Tingkat pelayanan adalah suatu ukuran yang digunakan untuk mengetahui kualitas suatu ruas jalan tertentu dalam melayani arus lalu lintas yang melewatinya. Hubungan antara kecepatan dan volume jalan perlu di ketahui karena kecepatan dan volume merupakan aspek penting dalam menentukan tingkat pelayanan jalan. Apabilah volume lalu lintas pada suatu jalan meningkat dan tidak dapat mempertahankan suatu kecepatan konstan, maka pengemudi akan mengalami kelelahan dan tidak dapat memenuhi waktu perjalan yang direncanakan.
Menurut Warpani, (2002), Tingkat pelayanan adalah ukuran kecepatan laju kendaraan yang dikaitkan dengan kondisi dan kapasitas jalan.
Morlok (1991), mengatakan, ada beberapa aspek penting lainnya yang dapat mempengaruhi tingkat pelayanan jalan antara lain : kenyamanan, keamanan, keterandalan, dan biaya perjalanan (tarif dan bahan bakar). Tingkat pelayanan jalan di klasifikasikan yang terdiri dari enam (6) tingkatan yang terdiri dari Tingkat pelayanan A sampai denhan dengan tingkat pelayanan F. Selanjutnya tingkat pelayanan dapat dilihat pada tabel berikut :
Tabel 5. Standar tingkat pelayanan jalan
Tingkat
Pelayanan jalan Kecepatan Ideal
(km/jam) Karasteristik
A > 48,00 Arus bebas, volume rendah, kecepatan tinggi, pengemudi dapat memilih kecepatan yang dikehendaki
B 40,00 – 48,00 Arus stabil, volume sesuai untuk jalan luar kota, kecepatan terbatas
C 32,00 – 40,00 Arus stabil, volume sesuai untuk jalan kota, kecepatan dipengaruhi oleh lalulintas
D 25,60 – 32,00 Mendekati arus tidak stabil, kecepatan rendah
E 22,40 – 25,60 Arus tidak stabil, volume mendekati kapasitas, kecepatan rendah
F 0,00 – 22,40 Arus terhambat, kecepatan rendah, volume di atas kapasitas, banyak berhenti
Sumber : Morlok , E. K. (1991)
F. Kinerja Simpang Bersinyal
1. Lampu Lalu Lintas
Lampu lalu lintas adalah peralatan yang dioperasikan secara mekanis, atau electrik untuk memerintahkan kendaraan-kendaraan agar berhenti atau berjalan. Peralatan standar ini terdiri dari sebuah tiang, dan kepala lampu dengan tiga lampu yang warnanya beda (merah, kuning, hijau)
Tujuan dari pemasangan lampu lalu lintas MKJI (1997) adalah :
a. Menghindari kemacetan simpang akibat adanya konflik arus lalu lintas yang berlawnan, sehingga kapasitas persimpangan dapat dipertahankan selama keadaan lalu lintas puncak.
b. Menurunkan tingkat frekwensi kecelakaan
c. Mempermudah menyeberangi jalan utama bagi kendaraan dan/ atau pejalan kaki dari jalan minor.
Lampu lalu lintas dipasang pada suatu persimpangan berdasarkan alasan spesifik ( C. Jotin Khisty and B. Ken Lall, 2003 ) :
a. Untuk meningkatkan keamanan sistem secara keseluruhan.
b. Untuk mengurangi waktu tempuh rata-rata disebuah persimpangan, sehingga meningkatkan kapasitas.
c. Untuk menyeimbangkan kualitas pelayanan di seluruh aliran lalu lintas.
Pengaturan simpang dengan sinyal lalu lintas termasuk yang paling efektif, terutama untuk volume lalu lintas pada kaki simpang yang relatif tinggi. Pengaturan ini dapat mengurangi atau menghilangkan titik konflik pada simpang dengan memisahkan pergerakan arus lalu lintas pada waktu yang berbeda (Alamsyah, 2005)
Beberapa istilah yang digunakan dalam operasional lampu persimpangan bersinyal (Liliani, 2002)) :
a. Siklus, urutan lengkap suatu lampu lalu lintas
b. Fase (phase), adalah bagian dari suatu siklus yang dialokasikan untuk kombinasi pergerakan secara bersamaan.
c. Waktu Hijau Efektif, adalah periode waktu hijau yang dimanfaatkan pergerakan pada fase yang bersangkutan.
e. Waktu Antar Hijau, waktu antara lampu hijau untuk satu fase dengan awal lampu hijau untuk fase lainnya.
f. Rasio Hijau, perbandingan antara waktu hijau efektif dan panjang siklus.
g. Merah Efektif, waktu selama suatu pergerakan atau sekelompok pergerakan secara efektif tidak diijinkan bergerak, dihitung sebagai panajng siklus dikurangi waktu hijau efektif.
h. Lost Time, waktu hilang dalam suatu fase karena keterlambatan start kendaraan dan berakhirnya tingkat pelepasan kendaraan yang terjadi selama waktu kuning.
2. Geometrik Persimpangan
Geometrik persimpangan merupakan dimensi yang nyata dari suatu persimpangan. Oleh karenanya perlu di ketahui beberapa defenisi berikut ini :
1. Approach (kaki persimpangan), yaitu daerah pada persimpangan yang digunakan untuk antrian kendaraan sebelum menyeberangi garis henti.
2. Approach width (WA) yaitu lebar approach atau lebar kaki persimpangan
3. Entry Width (Qentry) yaitu lebar bagian jalan pada approach yang digunakan untuk memasuki persimpangan, diukur pada garis perhentian
4. Exit width (Wexit) yaitu lebar bagian jalan pada approach yang digunakan kendaraan untuk keluar dari persimpangan
5. Width Left Turn On Red (WLTOR) yaitu lebar approach yang digunakan kendaraan untuk belok kiri pada saat lampu merah
Untuk kelima hal tersebut diatas dapat dilihat dalam gambar berikut :
Gambar 4. Geometrik Persimpangan Dengan Lampu Lalu Lintas
6. Effective approach width (We) yaitu lebar efektif kaki persimpangan yang dijelaskan dalam gambar berikut : (MKJI 1997)
a) untuk approach tipe O dan P
Gambar 5. Lebar Efektif Kaki Persimpangan
jika WLTOR > 2 m, maka : We = WA – WLTOR atau
We = Wentry, (digunakan nilai terkecil)
jika WLTOR < we =" WA" we =" Wentry," wexit =" Wentry" prt =" rasio" plt =" rasio" pltor =" rasio" lav =" jarak" lev =" panjang" vav =" kecepatan" vav ="10" vev =" 10" lev =" 5" lti =" " i =" " q =" QST)"> 250 smp/jam :
QRT < qrto =" 250" s =" SPROV-(QRTO"> 250 smp/jam : a. Tentukan SPROV pada QRTO dan QRT = 250
b.Tentukan S sesungguhnya sebagai
S = SPROV - (QRTO + QRT – 500) x 2
- Jika QRTO <> 250 smp/jam : tentukan S seperti pada QRT = 250
2. Lajur belok kanan terpisah
- Jika QRTO > 250 smp/jam :
QRT <> 250 smp/jam : Tentukan SPROV pada QRTO dan QRT = 250
- Jika QRTO <> 250 smp/jam : tentukan S dengan ekstrapolasi.
3. Faktor-Faktor Penyesuaian
Faktor-faktor penyesuaian untuk nilai arus jenuh dasar pada kedua tipe pendekat P dan O adalah sebagai berikut :
a. Faktor penyesuaian ukuran kota ditentukan dengan tabel berikut sebagai fungsi dari ukuran kota.
Tabel 7. Faktor Penyesuaian Ukuran Kota
Penduduk kota
(juta jiwa) Faktor penyesuaian ukuran kota
(Fcs)
> 3.0
1.0 – 3.0
0.5 – 1.0
0.1 – 0.5
<> 0.25
Komersial Tinggi
Sedang
Rendah
Terlawan
Terlindung
Terlawan
Terlindung
Terlawan
terlindung 0.93
0.93
0.94
0.94
0.95
0.95 0.88
0.91
0.89
0.92
0.90
0.93 0.84
0.88
0.85
0.89
0.86
0.90 0.79
0.87
0.80
0.88
0.81
0.89 0.74
0.85
0.75
0.86
0.76
0.87 0.7
0.81
0.71
0.82
0.72
0.83
Pemukiman Tinggi
Sedang
Rendah
Terlawan
Terlindung
Terlawan
Terlindung
Terlawan
terlindung 0.96
0.96
0.97
0.97
0.98
0.98 0.91
0.94
0.92
0.95
0.93
0.96 0.86
0.92
0.87
0.93
0.88
0.94 0.81
0.89
0.82
0.90
0.83
0.91 0.78
0.86
0.79
0.87
0.80
0.88 0.72
0.84
0.73
0.85
0.74
0.86
Akses terbatas Tinggi/sedng/rendah Terlawan
terlindung 1.00
1.00 0.95
0.98 0.90
0.95 0.85
0.93 0.80
0.90 0.75
0.88
Sumber : MKJI (1997)
c. Faktor penyesuaian kelandaian sebagai fungsi dari kelandaian (MKJI 1997)
d. Faktor penyesuian parkir sebagai fungsi jarak dari garis henti sampai kendaraan yang diparkir pertama. Faktor ini juga dapat dihitung dari rumus berikut :
Fp = ( Lp/3 – (WA - 2) x (Lp/3 – g) / WA / g …. (8)
Dimana :
Lp = jarak antara garis henti dan kendaraan yang diparkir pertama (m) atau panjang dari lajur pendek
WA = lebar pendekat (m)
g = waktu hijau pada pendekat
1. Faktor-faktor penyesuaian untuk nilai arus jenuh dasar untuk pendekat tipe P adalah sebagai berikut : (MKJI, 1997)
a. Faktor penyesuaian belok kanan (FRT) dapat ditentukan sebagai fungsi dari rasio kendaraan belok kanan PRT. Untuk pendekat tipe P, tanpa median, jalan dua arah, lebar efektif ditentukan oleh lebar masuk
FRT = 1.0 + PRT x 0.26…………………… (9)
b. Faktor penyesuaian belok kiri (FLT) ditentukan sebagai fungsi dari rasio belok kiri PLT. Untuk pendekat tipe P, tanpa LTOR, lebar efektif ditentukan oleh lebar masuk
FLT = 1.0 – PLT x 0.16……………… … (10)
4. Arus Jenuh
Sebuah studi tentang bergeraknya kendaraan melewati garis henti disebuah persimpangan menunjukkan bahwa ketika lampu hijau mulai menyala, kendaraan membutuhkan waktu beberapa saat untuk mulai bergerak dan melakukan percepatan menuju kecepatan normal, setelah beberapa detik, antrian kendaraan mulai bergerak pada kecepatan yang relative konstan, ini disebut Arus jenuh.
MKJI menjelaskan Arus jenuh biasanya dinyatakan sebagai hasil perkalian dari arus jenuh dasar (So) yaitu arus jenuh pada keadaan standar, dengan faktor penyesuaian (F) untuk penyimpangan dari kondisi sebenarnya, dari suatu kumpulan kondisi-kondisi (ideal) yang telah ditetapkan sebelumnya.
S = So x Fcs x FSF x FG x FP x FRT x FLT (11)
Dimana :
So = Arus jenuh dasar
Fcs = Faktor penyesuaian ukuran kota, berdasarkan jumlah penduduk.
FRsu = Faktor penyesuaian tipe lingkungan jalan dan hambatan samping.
FG = Faktor Kelandaian Jalan.
Fp = Faktor penyesuaian parkir.
Flt = Faktor penyesuaian belok kiri
Frt = Faktor penyesuaian belok kanan
5. Rasio Arus
Ada beberapa langkah dalam menentukan rasio arus jenuh yaitu :
a. Arus lalu lintas masing-masing pendekat (Q)
1. Jika We = Wkeluar, maka hanya gerakan lurus saja yang dimasukkan dalam nilai Q
2. Jika suatu pendekat mempunyai sinyal hijau dalam dua fase, yang satu untuk arus terlawan (Q) dan yang lainnya arus terlindung (P), maka gabungan arus lalu lintas sebaiknya dihitung sebagai smp rata-rata berbobot untuk kondisi terlawan dan terlindung dengan cara yang sama seperti pada perhitungan arus jenuh.
b. Rasio arus (FR) masing-masing pendekat :
FR = Q / S………………………… (12)
c. Menentukan tanda rasio arus kritis (FRCRLT) tertinggi pada masing-masing fase
d. Rasio arus simpang (IFR) sebagai jumlah dari nilai-nilai FRCRLT
IFR = (FRCRLT)…………………… (13)
e. Rasio fase (PR) masing-masing fase sebagai rasio antara FRCRLT dan IFR
PR = FRCRLT / IFR…………….. (14)
6. Waktu Siklus Dan Waktu Hijau
Panjang waktu siklus pada fixed time operation tergantung dari volume lalu lintas. Bila volume lalu lintas tinggi waktu siklus lebih panjang.
Panjang waktu siklus mempengaruhi tundaan kendaraan rata-rata yang melewati persimpangan. Bila waktu siklus pendek, bagian dari waktu siklus yang terambil oleh kehilangan waktu dalam periode antar hijau dan kehilangan waktu awal menjadi tinggi, menyebabkan pengatur sinyal tidak efisien. Sebaliknya bila waktu siklus panjang, kendaraan yang menunggu akan lewat pada awal periode hijau dan kendaraan yang lewat pada akhir periode hijau mempunyai waktu antara yang besar.
1. Waktu siklus sebelum penyesuaian
Waktu siklus sebelum penyesuaian (Cua) untuk pengendalian waktu tetap. (MKJI, 1997)
Cua = (1.5 x LTI + 5) / (1 – IFR)………… (15)
dimana :
Cua = waktu siklus sebelum penyesuaian sinyal (det)
LTI = waktu hilang total persiklus (det)
IFR = rasio arus simpang (FRCRLT)
Tabel di bawah ini memberikan waktu siklus yang disarankan untuk keadaan yang berbeda :
Tabel 9. Waktu siklus yang disarankan
Tipe Pengaturan Waktu Siklus Yang Layak (det)
Pengaturan dua fase
Pengaturan tiga fase
Pengaturan empat fase 40 – 80
50 – 100
80 - 130
Sumber : MKJI (1997)
2. Waktu hijau
Waktu hijau (g) untuk masing-masing fase :
gi = (Cua – LTI) x PRi…… (16)
Dimana : gi = tampilan waktu hijau pada fase I (det)
Cua = waktu siklus sebelum penyesuaian (det)
LTI = waktu hilang total persiklus
PRi = rasio fase FRCRLT / (FRCRLT)
3. Waktu siklus yang disesuaikan
Waktu siklus yang disesuaikan (c) sesuai waktu hijau yang diperoleh dan waktu hilang (LTI) :
c = g + LTI…………… (17)
Komponen-komponen waktu siklus meliputi :
a.. Waktu hijau, yaitu waktu nyala hijau pada suatu periode pendekat
(detik).
b. Waktu Kuning (Amber) adalah waktu kuning dinyalakan setelah hijau dari suatu pendekat (detik).
c. Waktu Merah semua (All Red) adalah waktu dimana sinyal merah menyala bersamaan dalam pendekat-pendekat yang dilayani oleh fase sinyal yang berlawanan.
d. Waktu Antar hijau (Intergreen) adalah periode kuning dan waktu merah semua (all red) yang merupakan transisi dari hijau ke merah untuk setiap fase sinyal.
7. Kapasitas
Kapasitas adalah jumlah maksimum arus kendaraan yang dapat melewati persimpangan jalan (intersection).
Menghitung kapasitas masing-masing pendekat :
C = S x g/c…………………………… … (18)
Dimana :
C = Kapasitas (smp/jam)
S = Arus jenuh (smp/jam)
g = Waktu hijau (detik)
c = Waktu siklus (detik)
Menghitung derajat kejenuhan masing-masing pendekat :
DS = Q / C……………………………… (19)
Dimana :
DS = Derajat kejenuhan
Q = Arus lalu lintas (smp/jam)
C = Kapsitas (smp/jam)
8. Perilaku Lalu Lintas
Dalam menentukan perilaku lalu lintas pada persimpangan bersinyal dapat ditetapkan berupa panjang antrian, jumlah kendaraan terhenti dan tundaan.
a. Panjang Antrian
1. Untuk menghitung jumlah antrian yang tersisa dari fase hijau sebelumnya digunakan hasil perhitungan derajat kejenuhan yang tersisa dari fase hijau sebelumnya. (MKJI, 1997)
Untuk DS > 0.5 :
(20)
Untuk DS < ds =" 0.5" nq1 =" 0" nq1 =" jumlah" ds =" derajat" c =" kapasitas" nq2 =" jumlah" ds =" derajat" gr =" rasio" c =" waktu" qmasuk =" arus" nq =" NQ1" c =" waktu" q =" arus" nsv =" Q" dt =" tundaan" c =" waktu" a =" ," gr =" rasio" ds =" derajat" nq1 =" jumlah" c =" kapasitas" dgj =" (1" dgj =" tundaan" psv =" rasio" pt =" rasio"> 60
Sumber : Tamin (2000)
Download File